I remember what you wore on the first day
You came into my life
And I thought hey
You know this could be something
Cause everything you do
And words you say
You know that it all takes my breath away
And I am left with nothing...
Bukan tidak mungkin pabila suatu hari, ada seseorang yang begitu miris ketakutan dengan terus memegang erat kepalanya yang sesak akan beban, atau sesekali memeluk kedua kakinya dengan bersandar pada kedua lutut yang menonjol. Lalu bersimpuh. Berbisik lirih. Dengan doa-doa pada sela-sela tangisnya. Ayat yang diucapkan memang terpatah-patah, bagaimana pun ia yakin bahwa Tuhan tidak memperdulikan itu semua, karena Dia tahu yang sebenarnya terucap di hati kecil para insannya.
Berlanjut hingga pukul 2 ,walau ia sebenarnya terus bertaruh dengan dingin yang setia mendekapnya. Kubah langit di malam hari yang baru disadari bahwa warnanya tidak segelap yang ia pikirkan. Langit malam akan terlihat terang pabila kita mencoba untuk benar-benar menelanjangi mata kita. Begitu angin bicara.
Tak ada satu pun yang mematahkan keheningan malam saat itu. Hanyalah isakan tangis yang frekuensinya terlalu kecil untuk mereka dengar. Mungkin saja sampai pada semut-semut yang sedang asyik memanggul makanannya, atau cicak-cicak yang terlalu nyaman dengan dinding coklatnya.
Dan akhirnya ritual malam terhentikan saat terdengar suara suci memanggil dari arah barat yang berseru pada setiap umat bahwa inilah saatnya bagi mereka bertemu dengan Sang Tuhan. Ia bersemangat dengan tampilan yang cermin bilang itu rapi.
--
Ia tersadar bahwa pagi buta seperti inilah yang selalu ia takutkan. Pagi yang memulai segala hari hingga sampai pada ujung malam. Pagi yang akan menjawab semua takdirnya pada hari yang menjalar cepat seperti rerumputan nakal di halaman rumahnya. Ia tidak perduli apakah itu terik atau kabut. Yang terbesit hanyalah ,bahwa ia tidak ingin berlari terlalu jauh. Saat ini.
Walau ia tahu bahwa ia akan perangi segala hari. Menapakkan seluruh kakinya pada tempat-tempat yang tanpa sadar tidak semestinya untuk ia datangi.
Bila aku tahu,
kau berada pada ujung harapmu
Akan aku buatkan sesuatu yang jauh lebih besar daripada itu
Bila engkau tahu,
Aku kini dihantui esok hari
dan akan kuminta kau tetap di sini tanpa sedikit pun hendak pergi
Dituliskan sebagai catatan pagi. Kemudian ia buka lagi pada lembar kedua setelah itu. Kosong. Belum ada tinta apa pun yang menodai. Saat itu pula ia meneruskan,
Kau tahu, bagaimana rasanya ketika kita jauh dari yang kita harapkan?
Akankah kau merasa hilang?
Apakah kau akan sepenuh hati yakin bahwa kau ini sebenarnya sedang dekat?
Cinta yang kau sematkan, apakah itu cukup?
Fondasi hati yang kau bangun, akankah terkikiskan angin?
Air mata yang kau jatuhkan, apakah masih itu akan berarti?
Tuhan, aku mau semua ini bukan hanya sekejap mataku. Aku hanya butuh ketetapan. Tetapkan lukisan hidup-Mu hanya untukku.
Mereka tidak sadar bahwa aku sebenarnya ada pada kegilaan yang akut.
Mungkin perkataanku ini tidak wajar, Tuhan.
Dan, berkatilah aku dengan cara-Mu.
Dewasakan aku dengan jalan-Mu.
Langkahkan aku dengan kaki-Mu.
Tabahkan aku dengan hati-Mu.
Itu saja.
Setelah dirasa cukup ,ia berhenti. Lalu semua hening kembali. Sejuta sel otaknya kembali bekerja dan membawanya rekreasi. Ia ingat kali pertama berjumpa dengan sosok pria yang kelewat diam. Ia ingat satu hal yang pertama kali pria itu tanyakan kepadanya, dan bukan tentangnya, tapi seseorang yang lain. Datar dan singkat. Alasan dari mengapa yang tepat adalah karena ia bukan siapa-siapa saat itu. Bukan siapa-siapa.
Pertemuan kedua, pria itu berbalut kaus hijau. Hijau seperti saat kali pertama bertemu. Tanpa sahut dan pertanyaan. Mereka seakan berada di tempat berbeda walau sebenarnya sama. Karena pada saat itu, ia masih bukan siapa-siapa.
Pertemuan ketiga, ia ingat pria itu dibalut oleh sweater abu. Tipis. Tidak begitu tebal kelihatannya. Berjam-jam mereka berjalan bersama hingga malam larut dan berubah menjadi pagi awal. Dan tetap, tanpa sahut juga pertanyaan. Karena ia masih bukan siapa-siapa. Untuknya.
Lalu memori berputar dan membawa ia ke dua tahun berikutnya. Setelah pertemuan pertama, kedua, dan ketiga. Mereka dipertemukan kembali. Dan ia berjalan menghampiri pria itu. Masih tanpa sahut dan tanya. Pria itu berlaku dingin. Ia kira setelah dua tahun lamanya langit akan membawa perubahan. Dan ,tidaklah itu benar,karena semua masih terasa sama. Bahkan kali ini terlihat seperti mereka belum pernah bertemu sama sekali. Ia sangat menyayangkan bila ingat bahwa pria itu pernah bertanya sesuatu padanya. Dan setelah dua tahun ini, ia sama sekali kecewa, karena tak pernah ia dengar kembali serangkaian suara yang pria itu tujukan untuknya. Yang ia pikirkan, bahwa pertanyaan pria itu kini seperti pertanyaan pertama dan terakhir untuknya. Ironis.
--
Terhenti. Pikirnya membawa ia kembali pada kehidupan yang nyata saat ini. Yang nyata adalah bahwa semua keadaan lalu kini sudah begitu terbalik. Semua indah pada saatnya dan jauh dari yang ia pernah pikirkan. Warna langit kini biru terang dibuatnya dan mentari semakin bersahabat di pagi harinya. Semua hanya karena ia kini telah memiliki. Berawal dari pertemuan yang tak diprediksi adanya. Pria itu kembali dengan sendirinya, dengan cara yang sungguh jauh dari bayangan. Cendera mata ringan nan mungil yang selintas tidak banyak arti. Namun dari situ lah semuanya berawal.
--
Pada bagian akhir, inti dari segala kisahnya adalah bahwa ia tengah hidup dalam makna bersama yang berharga. Dan tak ada satu pun boleh merenggut. Karena ia kini memiliki. Apalah arti kehadiran bila tak ada kepergian. Dan apalah arti mendapatkan bila tak ada melepaskan. Itu saja sebagian hal mutlak yang selalu ia takutkan. Berharap Tuhan berikan cara yang indah pada akhirnya.
Sunday, March 21
Her
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment