Buatmu,
Akan kuceritakan dari titik paling awal, kau ingat? Ketika kita memutuskan untuk menjadi Ratu dan Pangeran di negeri mimpi kita. Kau menghampiri dengan kuda putih paling cantik di seluruh jagat. Oh tunggu, aku juga ingin kau mendengarkan. Mendengarkan dengan telinga-telinga hatimu.
Baiklah, dan ketika itu aku rasa kaulah yang benar-benar buat aku hidup. Karena beratus tahun aku tinggal, tiada satu pun yang mengakuiku. Aku merasa inilah awalku. Denganmu.
Walau aku tak pernah bertanya dari mana kamu datang, walau aku tak pernah bertanya bagaimana awal mula perjalananmu hingga tiba di tempatku ini. Itu tidak masalah bagiku. Saat itu. Karena aku pikir inilah waktuku untuk bahagia. Tuhan pasti mentakdirkan kali ini untuk aku dan kau.
Inilah kisah kita berlangsung. Berhari-hari hingga berganti bulan. Karena aku yakin ini akan indah dan akan menjadi cerita terindah. Setiap malam kau selalu datang dengan setangkai bunga yang kau sembunyikan di punggungmu. Entah itu pink, putih, merah, ungu. Apa pun kau pernah berikan untukku. Dan bagiku yang putih itu paling cantik. Aku selalu menerima kedatanganmu dengan tangan terbuka dan hati seluas semesta. Kadang kala kita memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman utara. Juga tidak kau biarkan kudamu mengikuti kita. Yang ada hanyalah kau dan aku. Berjalan bersama.
Waktu demi waktu bergulir dan aku termakan banyak kisah. Dan kurasa aku mulai merenungkan diri di balik sudut kamarku. Kurasa selama ini aku tidak pernah mendapat sesuatu yang adil darimu. Pernah ketika aku bercerita dan kau malah asyik dengan pedang barumu. Atau kau terus asyik dengan cerutu tuamu. Walau aku tak pernah ingin tahu awal mula kau menjadi pecandu taar dan nikotin. Bagiku kau telah cukup mengerti aku. Bahkan ketika aku memutuskan untuk berdiam, kau malah mengeluhkan itu semua. Kau bilang aku tidak mendengarkanmu. Lihat? Betapa aku ingin engkau mengerti. Setidaknya mengetahui.
Lantas hal-hal apa yang kau tahu dariku? Sudah cukup banyak-kah? Bahkan kau sepertinya tidak tahu bahwa aku benci dengan sekumpulan asap yang buatku sulit bernafas. Apa mungkin kau lupa aku ini tidak begitu bersahabat dengan itu semua?
Lalu tentang tidurmu, tidurmu bukan untuk aku. Seringkali aku mendengar kau mengigau. Dan bukan namaku yang kau ucap tapi nama lain. Hey, dan nama itu milik sahabatku!
Bahkan ketika kau terbangun ,kau melupakan semuanya. Karena sebelumnya kita larut dengan mulut yang mengamuk. Pun itu pertama kalinya kau memanggilku dengan kata yang lebih pantas ditujukan pada binatang jalang. Wahai kekasih, apa kau mulai buta? Siapa di hadapanmu kau sungguh tidak menyadari, aku ini wanita yang masih erat dengan harga diri dan tidak pernah aku biarkan siapa pun membuatku terasa rendah hanya karena ulahku. Pernahkah berfikir? Ulahku yang mana yang hampir membunuh hatimu? Aku yakin itu tidak pernah kulakukan.
Hal-hal kecil yang kukira terlalu mikro ukurannya bisa sampai membuatmu membabi buta terhadapku. Lantas hatimu itu seperti apa? Aku lelah denganmu yang sungguh temperamental ternyata. Padahal aku kira kau tidak seburuk ini. Kau selalu aku agung-agungkan pada siapa pun. Tapi kali ini aku terlanjur kecewa. Berkali-kali pedangmu ditebaskan ke arahku dan tidak sedikit darahku keluar karenamu. Dan kini ratusan pilku pun tak cukup melawan rasa sakitku.
---
Tepat ketika matahari menguncup aku selalu mengunci diri dan mencoba merelaksasi seluruh jiwaku. Seluruh amarah ,kecewa dan benci yang membatin. Lalu diperangi dengan segenap hati yang tulus menyayangi. Aku tak tahu yang mana akan menang karena mereka sama-sama kuat pada posisinya. Aku selalu minta pada Tuhan agar ia matikan aku saja ,agar ia hentikan kisah ini. Aku sudah cukup lelah.
Hanya tidak lama kau datang kembali. Dengan mawar putihmu dan secarik kertas bertuliskan kata maaf. Aku abaikan itu. Namun kau masih memaksa dengan menggenggam kedua tanganku. Cukup. Kukira ini tidak akan berarti lagi. Maafmu semakin meruncingkan pisau-pisau yang tertancap jauh di hati kecilku. Dan itu terlalu perih untuk aku rasakan. Kau bahkan masih berdiri tegak walau sejuta kesalahan ada di pundakmu. Perlukah aku ingatkan kembali beberapa dosamu padaku?
Belum cukupkah kau hidup dengan hati yang terbelah dua, untukku dan untuknya. Aku tegaskan aku hanya perlu hati yang utuh yang dengan sederhana mencintaiku. Bukan gaya hidup yang terlalu sederhana sehingga kau bisa terus jadikan aku seperti seekor sapi perahmu.
Aku mohon,
mulailah mendengarkan..
Aku mohon,
mulailah merasakan..
Aku mohon,
mulailah memikirkan..
Aku mohon,
mulailah menyaksikan..
Aku mohon,
mulailah menyadari..
Sadari aku yang sudah terlalu menderita. Sadari aku yang tak sempat kau hargai.
Beberapa kesempatan yang aku taburkan tak pernah kau tuai dengan baik. Kau tidak pernah benar-benar menjaganya. Dan Tuhan pun menggerakan hatiku ,perlahan-lahan ia hilangkan seluruh kasih yang terpatri. Ia buat kau seburuk mungkin di mata hatiku. Bukan untuk selamanya. Hanya untuk aku kali ini. Karena Tuhan benci jika aku memusuhi. Biarkan Tuhan mengumpulkan segala tentangmu di otak hatiku yang sesekali aku tengok karena rindu. Tapi bukan untuk diambil kembali. Bukan untuk diulangi.
Maka dari itu, pergilah. Melangkahlah semakin jauh. Rangkaikan kembali sayap-sayap kita yang belum selesai. Ingat aku hanya sebagai salah satu bab di pelajaran hidupmu. Aku harap suatu hari kau benar-benar menjadi seorang Pangeran yang hidup dengan kemuliaan hatinya. Bukan sebatas berkuda lalu membawa jutaan pedang.
--
Terakhir kali kita melangkah bersama, dan itu pula saatnya kita berpisah. Kita berpisah selamat tinggal. Kita berpisah selamat jalan.
Thursday, March 25
From Me to My K
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Mengharukan sekali...
Salut buat kmu...
Tulisan2 kmu bagus... terus kembangkan..
Salam kenal
http://jackysan.wordpress.com
trims. salam kenal kembali :)
Post a Comment