Thursday, October 29

TERGANGGU

Sudah aku katakan , "Jangan lagi kau tapakkan kedua kakimu di atas batu karang itu!"
Seandainya terjatuh. Aku akan berdiam. Aku akan tetap di sini melihatmu meringis sakit. Bersuara sendiri. Menatap harap. Meskipun suaramu telah menggema ke ujung lautan. Tak akan sekali pun aku mendengarkan. Tak akan sekali pun aku membalikkan ragaku untuk menoreh kembali.

Karena suaramu sama. Karena perkataanmu sama. Karena desahanmu sama. Karena rayumu sama. Karena tangismu sama. Karena janjimu sama. Karena salahmu sama . Dan karena,
AKU MENGINGINKAN SEMUA ITU TETAP SEPERTI DEBU-DEBU YANG TAK PERNAH ADA ARTINYA.

Setan itu merasuk ketika aku lemah untuk melawan. Sekarang, pergilah.
Bawalah semua, BAWA!
Jangan sampai aku melihat sisa-sisamu di tempatku ini.

Hidupku. Itu AKU.
Dan mengapa masih selalu kau pertanyakan?
Perlukah aku membawamu ke tempat di mana terdapat CERMIN BESAR di dalamnya?

Dan apa yang kau lihat itu adalah kenyataan yang nyata adanya. Ini sudah bukan daerahmu. Bukan hak mu.

Biarkan aku berlari ,biarkan aku berlari.
Tak perlu kau tebarkan kerikil-kerikil hitam pada lintasanku. Untuk apa?

Aku berjalan menuju kebahagiaanku sendiri. Dan bukan berbelok dengan tujuanmu.
Karena arahmu itu gelap cahayanya. Aku tidak ingin tersesat lagi.

CUKUPKAH INI? Read more...

Monday, October 19

Title?

Kisah kali ini ,adalah aku.

Ya, mungkin kali ini terasa ringan, tidak sekasar dan seberat sebelumnya.

Aku hidup. Tidak bisa kupungkiri bahwa memang awan di biru sedang kujadikan alas untukku berbaring.
Mereka menopang aku. Bahkan ketika malam bintang-bintangnya menghampiri, mereka bercerita, tentang dunia yang sedang mereka hias dengan kelap-kelipnya, tentang manusia-manusia yang selalu tersenyum ketika mereka melihat indahnya mainan Tuhan yang bersegi lima tersebut, sekalipun tentang manusia-manusia yang berlinang air mata yang menganggap bahwa bintang-bintang ini memiliki memoar tersendiri bagi mereka bersama kekasih-kekasihnya. Aku cukup terhibur.

“Lalu bagaimana dengan kau?” tanya salah satu dari mereka, yang paling terang.

“Aku? Tidakkah setiap hari engkau melihat aku? Mengintipku mungkin? “

“Kemarin, kurasa kau terlalu sibuk dengan dirimu sendiri.”


Aku tertawa, “Ya, kau benar. Sudah terlalu lama aku hanya menoreh orang-orang disekitarku, bahkan aku ,suara hatiku sendiri aku tak mendengarkannya.”

“Kau telah keliru.”

“Memang. Tapi bukankah kita harus mengecap kesalahan terlebih dahulu sebelum mendapatkan kebenaran?”


“Ya, itu benar!”, sahut bintang itu tersenyum. Cahayanya makin berkilauan. Sedikit menyilaukan aku.

“Mana bulan?”

“Dia berjaga. Di timur sana. Bersama teman-temanku juga.”

“Kau, tidakkah kau lelah selama ini engkau hanya menjadi bahan penerang manusia, bahkan engkau bisa menghibur mereka. Kau tahu, teman-temanku sangat gembira jika kau tampak bersama teman-temanmu di malam-malam seperti sekarang ini. Bahkan aku pun .”

“Aku hanya menjalankan apa yang Dia perintah. Aku hanya hidup dalam garis takdir. Sama sepertimu.”

“Benar. Tapi hidupmu lebih mudah. Tidak perlu kau memikirkan urusan dunia yang membuat kepala rasanya ingin pecah. Kau juga tidak perlu merasakan bagaimana dilemma nya ketika hidup antara hasutan iblis dan ajakan mulia malaikat. “


“Tapi kau manusia. Manusia adalah raja bagi dirinya sendiri. Kau dan mereka adalah tangan-tangan Tuhan. Tinggal kemana engkau bisa membawa tangan tersebut untuk membawa kebenaran dan keselamatan di dunia ini.”

“Tidak. Aku belum terlalu paham apa artinya semua ini.”

“Suatu saat nanti..”


“Ya, suatu saat nanti.”, aku terdiam sesaat, “Kau, apa Tuhan pernah memberitahumu tentang cinta? Perasaan?”

Bintangnya tertawa. “Hei, aku tidak punya naluri sepertimu.”

“Ya, aku tahu.”
Aku menggerutu.

“Memangnya mengapa? Ceritakanlah di sini. Padaku. Aku pun ingin tahu. Lalu siapa laki-laki kemarin?”

“Bagaimana kau tahu?”

“Tentu saja, aku melihatmu.”

“Well, akan aku ceritakan. Laki-laki itu. Aku pikir dia sama sepertimu. Dia bintang. Bintangku. Bintang yang terlupakan. Bintang yang tersembunyi. Bahkan aku pun tidak menyadari bahwa cahayanya telah menerangi malam-malamku yang penuh gelap. Seperti kemarin. Ketika aku kehilangan arah untuk melangkah kembali. Aku tidak menyadari akan hadirnya. Karena sebelumnya kupikir dia sama. Tidak ada hasrat lebih terhadapku.”


“Lalu?”

“Sampai pada satu waktu aku memikirkannya. Entahlah. Karena pada saat itu aku pikir aku masih terlalu haram untuk berharap lebih. Aku tahu bahwa sebelum tiba di sini dia pernah berkelana di dunia-dunia lain. Karena sebelumnya pun kami pernah dipertemukan. Namun aku dengan dia kala itu sedang mempunyai tujuan yang masing-masing berbeda. Hingga di bagian itu, kami sama-sama terlupakan.”

“Tapi dia kembali?”

“Ya, dia kembali. Entah angin mana yang memanggilnya. Dia kembali bersama urusan-urusannya yang sudah selesai. Sedangkan aku, aku belum. Saat itu aku terjatuh, aku terpaku untuk berdiri. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku marah sebisaku. Aku terhenti di depan jurang curam. Aku kehilangan arahku. Aku kehilangan telinga untuk mendengar mereka berbicara karena kurasa aku tidak perlu. Mereka semua hanya berkata dusta. Dan aku tidak ingin selalu menjadi tokoh yang tolol juga polos dalam setiap kisah-perjalananku.”

“Laki-laki itu?”

“Itu lain. Dia sebagai tokoh palsu. Dan aku sudah mengakhiri sandiwara bodoh itu."


“Lalu bintangmu?”

“Bintangku juga lain. Kali ini dia selalu ada. Dia selalu siap mengulurkan tangannya ketika aku hendak terperosok. Dia menyeka bila air mataku hendak terjatuh. Dia memberiku banyak alasan untuk aku berjalan kembali. Dia adalah salah satu alasanku untuk tidak menoreh ke belakang. Lagi. Bahkan ketika itu aku mulai bertanya pada diriku sendiri, apalah arti dari hari-hari yang telah dia beri. Bila saja dia tahu bahwa semenjak itu aku tidak merasakan kekosongan lagi.”

“Sepertinya berbuah manis.”

“Ya, memang. Dia bukanlah seperti supir ambulans yang dengan cepat datang bila ada manusia yang terluka. Dia bukan juga seperti seorang pemadam kebakaran yang siaga meredakan api yang sedang membara. Tapi dia akan datang kapan saja. Dengan atau tanpa disadari. Dengan atau tanpa diminta.”

“Aku semakin penasaran.. Lalu?”

“Lalu dia singgah. Singgah dalam hati yang sudah rata hancurnya. Dia membenahinya. Dia membuatkan aku hati dengan bentuk yang baru, yang dia bangun dengan fondasi-fondasinya. Kurasa ini lebih kuat. Sampai pada suatu hari dia membawaku pergi ke suatu tempat.”

“Ke mana? Kurasa aku pernah melihatnya.”

“Ke tempat di mana aku merasa bahwa aku adalah manusia yang paling beruntung. Walau pada awalnya aku tidak mengenal tempat tersebut sama sekali. Tempat di mana hati masing-masing mulai ditelanjangi. Tempat di mana aku tersadar akan realita yang ada. Tempat di mana aku tahu bahwa PERASAAN adalah jawaban atas segala pertanyaan-pertanyaanku selama ini. Tempat yang beratapkan malam gelap, hingga kami perlukan sebuah penerangan kecil untuk melihat. Tempat di mana aku tidak pernah membayangkannya sama sekali. Tempat di mana aku tidak yakin saat pertama kali aku menginjakkan kedua kakiku di atasnya. Tempat di mana ia pertama kali menggenggam tanganku. Dingin. Tempat di mana aku dan dia terasa seperti dua bocah yang terlanjur semangat untuk menemukan sebuah harta karun. Tempat di mana aku mendapati serangkaian garis biru sederhana yang sengaja ia buat. Dan itulah harta untukku.”


“Garis-garis apa yang ia buatkan?”

Sederhana. Klasik. Namun sangat berarti buatku. Dan akan selalu aku ingat. Kau, tahukah bahwa pada saat itu masih ada dinding-dinding lain yang belum mampu meredam suara kami berdua?”

“Benarkah? Mengapa?”

“Lain lagi. Ini tentang bagaimana aku mengambil sebuah keputusan. Berat sekali ketika aku masih harus berpikir langkah apa yang akan aku ambil. Ini adalah buah dari urusan kami masing-masing. Aku merasa tak adil jika aku hanya memetik yang manisnya saja. Sementara lainnya aku tinggalkan masam sendiri.”

“Tapi bukankah kita harus ambil yang terbaik untuk diri kita sendiri?”

“Justru itulah aku masih belum tahu apa yang terbaik untukku. Tapi aku tidak bisa hanya hidup dengan diri sendiri , dalam catatan hidupku pasti akan selalu ada orang lain. Tapi pada akhirnya semua terasa ringan. Aku senang.”

“Seperti itu?”

“Ya, aku telah menentukan langkahku sendiri. Aku tahu di dalam ceritaku tidak mungkin akan selalu diwarnai tawa, senang-senang, ada kalanya nanti aku akan bersedih kembali. Dan entah kapan. Tapi aku harus selalu siap untuk hal-hal seperti itu. Oleh siapa dan karena apa biarlah itu menjadi misteri hidup.”

“Kalau begitu kau sudah cukup mengerti. Lalu selanjutnya bagaimana?”

“Selanjutnya, aku hanya ingin hidup sebagaimana mestinya. Sederhana saja. Selama dia ada. Karena kini dia-lah alasanku. Kau, aku minta terangi setiap langkahnya jangan sampai ia salah melangkah.”

Aku akan selalu ada. Di sini. Aku tidak pernah tertidur. Sekalipun kau tidak mendapati aku dalam malammu, percayalah aku masih ada.

“Terima kasih...”


***

Meski hanya sekedar bunga tidur, aku percaya bahwa hal-hal seperti ini yang bisa membuat aku merasa lebih kuat. Betapa bahagianya ketika aku mengingat-mengingat kembali bagian-bagian manis yang pernah terjadi. Sama sekali aku tidak akan menyesali segala hal yang pernah menjadi indah dan berarti dalam hidupku. Bila masih tetap teringat, biarlah itu menjadi cerita untuk hidupku nanti. Aku bersyukur Tuhan mengizinkan aku mengecap bagian hidup yang ini, di mana aku dan dia bisa saling memiliki.

*how can I not love you ~ Read more...

Monday, October 12

22.50

Sekarang saya udah dapet seorang penyembuh. Saya juga enggak nyangka kok orangnya masih muter-muter di deket saya juga ternyata. Lucu, iya. Saya juga kadang ketawa sendiri ,apalagi sampai nangis bahagia kayak sekarang (aa aaaa mulaaai deh denaaaa lebaaay -___-)
Ya iya emang. Senengnya saya bisa kembali dapetin apa yang saya harepin. Saya tau, setiap langkah yang saya ambil pasti ada batu kasarnya. Tapi saya pikir itu masalah ke berapa puluh dan nggak ada salah kalau saya nyoba "UP" lagi.

Saya nggak akan lagi nengok-nengok ke belakang lah ya. Udah terlalu capek kepala saya muter-muter terus kalau ujung-ujungnya cuma bikin frustasi. Sekarang saya udah punya harapan baru. Bodohnya saya itu adalah ketika saya nggak bisa nunjukin apa yang saya rasain sebenarnya. Dan itu cukup untuk membuat orang-orang di sekitar saya mengambil kesimpulan bahwa hidup seorang saya adalah hidup yang datar-datar saja, menyenangkan, monoton. Padahal sama sekali jauh daripada itu andai mereka bisa lebih dekat.

*Depapepe - This Way B.O.R Version

Ya Tuhaaaaan ,ini sungguh saya benar-benar bersyukur. Benar. Indah pada waktunya.
Well, saya mungkin terlalu berlebihan tapi mungkin ini semua semata-mata karena saya memang jujur adanya ,karena saya memang telah mendapatkan sebuah PENGGANTIAN dari Tuhan akan hidup saya beberapa tahun ke belakang ini.
Saya pun nggak begitu mengerti kenapa saya bisa sampai sejauh ini. Saya juga nggak munafik bahwa memang beberapa waktu ke belakang ini saya senang adanya dia.


Yang bikin malam saya terasa lebih baik. Yang udah nyimpen kotak senyuman di hati saya dan itu bisa saya buka kapan aja saya mau.

"Dan saat inilah yang saya miliki, bukan kemarin.."

Lalu ada satu hal, dari pertama saya bicara sama dia saya sama sekali belum pernah natap matanya lama-lama. Saya pun nggak ngerti alesannya kenapa. Tapi kalo dipikir-pikir kaya orang aneh juga saya ngobrol sambil nunduk gitu terus matanya itu malah ngeliat kemana-mana. (KETAWA)

Aduh tapi maaf yaa ntuuuut :D

At least, saya seneng seneng seneng banget yaaaa ih tidur teh enaaak we HAHAHAHAHA naoooon ah zzzz Read more...

Saturday, October 10

Di Satu Ruang, Aku Mendengar

Ini tentang aku jatuh. Aku hilang kendali.
Barangkali duniaku kali ini sedang sedikit terjepit.
Ku teruskan melangkah dan melangkah hingga jauh.
Seperti ada tolakan yang dibuat ketika aku hendak menoreh ke belakang. Di mana banyak jalan-jalan rubuh di akhirnya. Dan sempat membuatku tergelincir ke dalam lubang sendu.

Aku muak bersama hari-hari yang tak bermatahari. Sampai aku ragu apakah ini siang terang ataukah malam yang pekat. Kadang aku menangis sambil tersadar. Sadar bahwa air mata ini terjatuh hanya untuk beberapa sandiwara yang berulang.

BANGUN !

Aaah tapi ini sudah terlalu nikmat untuk dikecap. Bahkan merpati pun pernah terbang sambil tersenyum. Aku menginginkan air yang mengguyur habis otakku, hatiku pun andai bisa. Ke mana aku akan menepi jika aku pun galau sendiri.

Aku pernah melihat bintang yang berkedip. Cantik.
Obatku ketika aku ingin merasa teduh. Mereka yang menjadi hiasan musiman-ku. Walau sempat aku iri ,mengapa mereka ditempatkan Tuhan jauh di atas langit sana, kecil, namun memancarkan banyak harapan, seperti harapan manusia-manusia yang menggantung di genting bumi. Sedangkan aku hanya ditempatkan di dunia yang melingkar, membuatnya terasa seolah aku tak punya ujung ,sudah limabelas tahun ini aku berlari mengitari pulau-pulau tepian. Dan hasilnya hampir selalu nihil.

Di satu waktu aku termenung, aku menyadari. "Inikah rencana-Mu, Tuhan?" . Aku dalam bisik.

Di satu ruang, aku mendengar ,
"Yang terbaik bukan selalu yang terindah.."


~bersama hujan yang masih merintik Read more...