Friday, April 30

Fiksi dari Yang Terbuang

Setitik air mata menetes, disusul dengan ujung-ujungnya yang menyambung. Dan kini aku menangis kian deras. Tak kutemukan satu lap ketulusan menawarkan ketenangan. Walau aku menampik segala warna cahaya dan tetap bersemayam dalam gelap. Jemariku kian lincah mengikuti irama mulut yang berdzikir. Lalu kuputuskan untuk bermunajat ,semoga Tuhan cepat mengambilku dari segala hidupku. Semoga Tuhan membuat aku sakit sampai sedemikian hancurnya dan aku terlepas dari belenggu begitu pun terang dan kelamnya dunia. Pengecut. Mungkin kata itu lebih layak ditujukan padaku. Hanya saja aku kini benar-benar tak cukup tenaga lagi untuk menahan. Aku pertaruhkan apa pun selama ini tapi selalu hampa akan arti.

Seperti saduran yang terkutip ,

"Aku berjalan sendirian
Ketika bulan sedang bersinar di kubah langit
secercah cahaya berpendar di gurun pasir
Tiba-tiba cahayanya tertutup awan
Bumi menjadi gelap gulita dan kelam
tak seorang pun dapat melihat cahaya,
yang lebih jauh dari tempatnya berpijak.

Aku tahu aku sedang menghadapi bahaya besar
tapi aku hanya akan berperang melawan penguasa lalim
yang ingin menendangku dengan kakinya
seperti menendang jalan semut
atau jika ingin mencengkeramku
di antara taring-taringnya.."
**

Sang penyair Mesir melebarkan sedikit demi sedikit celah-celah pintu hatiku. Mengetukku dengan serangkaian kata. Hingga muncul irama mendayu-dayu ,suara-suara yang menggaruk hati, sampai malam bermetamorfosis menjadi sangat biru dan tibalah kini waktuku. Waktu yang tepat .Waktunya seekor serigala keluar dari gua tenangnya untuk berlari, meraung-raung seperti dahsyatnya tangisku lalu memburu seperti aku semakin gila untuk membunuh diriku sendiri. Mencabik-cabik anak anjing seperti aku asyik menyayat-nyayat tanganku yang setengah rasanya telah beku.

Barangkali, salahku karena aku belum cukup memahami. Salahku karena bersikap terlalu dini. Salahku karena belum cukup mengimbangi. Salahku karena masih terperangkap dalam satu sensasi. Sampai baunya tak harum lagi begitu rasa juga kian menawar hingga dijadikan alasan untuk berpaling.

Karena aku tidak menginginkan hidup yang seperti ini. Pada akhirnya lajur lintas otakku semakin tak bisa kuatasi. Kuputuskan untuk mensubstitusi kedua jalan itu, hanya kenyataannya sia-sia. Yang kuhadapi sekarang tak berarah tak berbelok. Satu kenyataan pahit, karena yang kutemukan hanya kebuntuan. Aku sudah terlalu lelah untuk menjernihkan segala jalan pikir. Semua yang ada ,dari segala yang seharusnya ada hanyalah mati. AKU INGIN MATI! SUDAH CUKUP ,AKU INGIN SAKIT! Biarkan kenyataan bicara bahwa aku kini terbuang.
Read more...