Saturday, December 17

I'm On My Way To Take In

Ada saat ketika langit menjadi begitu abu. Begitu pekat.
Saat cahaya kilat berpendar. Membuat mataku sontak tertutup. Takut.
Bila aku boleh memilih. Lebih baik aku dengar suara petir setiap saat. Daripada aku harus duduk mendengarkan apa yang tidak terlontarkan secara langsung, apa yang tidak tersaksikan secara kasat.
Sayangnya aku tidak berhak untuk memilih. Tuhanku lebih ingin aku mendengarkan kenyataan.

Entah. Seketika aku merasa ada yang harus aku tertawakan saat itu juga.
Tentang namaku yang mungkin ada pada mulut, hati ,dan pikiran mereka.
Tentang namaku yang ada pada keseharian mereka.
Tentang namaku yang menyibukkan diri mereka.

Betapa sandiwara dunia ini benar. Dan aku mungkin adalah salah satu aktris dari film kehidupan. Barangkali wajar apabila mereka berkata seperti mereka adalah juri untuk hidupku. Aku sebagai diriku memang sama sekali tidak pernah mengerti, dan tidak pernah terbesit di dalam hati untuk mencelakakan atau merugikan siapapun. Terutama orang-orang di sekitarku.
Sepertinya, kali ini aku harus benar-benar melangkah. Melangkah dengan buta dan tuli.
Buta akan mereka yang menatapku dengan rendah. Tuli akan mereka yang menilaiku dengan pikiran yang dangkal.

Sepertinya, kali ini aku pun harus benar-benar mengerti. Mengerti dengan yang tidak satu dan segala aspek-aspeknya. Semacam toleransi, mungkin.
Walau aku sendiri merasa sesak. Namun rasanya terlalu lemah bila aku berikan air mata ini untuk hal-hal yang demikian. Sama sekali aku tidak mengerti mengapa mereka tidak menempatkan diri hanya pada satu sisi. Hitam atau putih. Bukan berada pada tengah-tengahnya.

Tuhanku barangkali sengaja. Tuhanku barangkali hanya ingin memperingatkan.
Bahwa setiap apa yang aku lihat di dunia ini tidak seutuhnya adalah benar.
Bahwa setiap emas yang aku lihat pun tidak berarti adalah murni.
Bahwa setiap tempat yang aku tuju pun tidak selalu adalah tujuan.

Inilah salah satu hal yang selalu aku renungkan setiap saat aku ingat Tuhan. Betapa Dia begitu sungguh. Terlepas dari segala kepalsuan dan kefanaan. Betapa Dia begitu tulus. Tanpa pamrih apapun.

Dan guruku mungkin benar. Pernah beliau memberi suatu petuah padaku bahwa untuk mencapai hidup yang sukses adalah dengan menjadi pemerhati yang paling baik. Pada awalnya sama sekali tidak terpikirkan bagaimana caraku memperhatikan segala tingkah laku manusia sedang aku berbaur pula bersama mereka. Tapi kini perlahan-lahan aku dapat membuka celah-celah itu. Aku hampir mengerti bahwa dengan memperhatikan, aku akan memahami segala hal.

Dan sekarang, aku sedang dalam perjalanan menuju paham. Paham bagaimana seharusnya aku kepada dunia, dunia terhadapku, aku di dunia dan dunia di dalamku.
Dengan satu hal yang tampak sederhana. Memperhatikan.

No comments: