Kujajaki kembali bekas cekungan kaki-kaki yang entah sudah berapa banyak terbentuk, bahkan itu semua telah terus dan terus tertindih seiringnya waktu. Sejauh itu, aku kini pada hamparah maha luas. Dan aku lega. Sangat lega..
Karena ternyata sepanjang waktu itu berbekas dua lengkungan-lengkungan berbeda. Itulah jejak dari kaki-kakiku dan kakimu. Kususuri perlahan, kuamati sabar, dan aku mengerjapkan mata sebentar.
Kalau saja saat ini engkau tahu bahwa kaki-kaki kita pernah berbekas di atas kerikil-kerikil hitam ini, lumuran cokelat yang hidup, pasir-pasir kasar, abu-abu yang tidak sempurna, bahkan kulihat hampir terbentuk di bibir-bibir batuan terjal.
Kuingat ketika kaki-kakiku hampir lemah untuk menopang lagi. Tangan-tanganmu seketika meraup aku lalu kau nyalakan kembali sumbu-sumbu hasratku yang kian meredup. Hingga sedekat itu aku ada di dalam pangkuanmu.
"Kau tahu, mustahil jika aku selemah ini, " kataku sambil terus kudengar hentakan kaki-kakinya yang senada di atas keringan-keringan daun kasar, "Bahkan sepertinya kau pun belum tahu jika aku punya sejuta permata yang bisa berubah menjadi sumber kekuatanku. Mungkin kau pun tidak lebih hebat daripada itu," sambungku lagi.
Aku terus terjaga di atas tangan-tangan kekarnya. Bibirnya kini melengkungkan senyum. Damai sekali.
"Tidak semua yang kau rasakan sama seperti yang kau tampakkan. Bodoh. Jalan pikirmu lebih tidak aku mengerti daripada cetakan angka-angka eksak yang rutin kugeluti setiap hari. Kau selalu saja ingin aku paham. Hey, aku ini bukan paranormalmu, tahu!" jawabnya lalu kemudian mendengus.
Selebihnya aku hanya tersenyum. Dia masih terlihat indah walau rautnya setengah kusut.
"Tampan.." kataku manis, "Kau tahu? aku ini perempuan. Sembilan per sepuluhku adalah perasaan. Satu per sepuluhnya barulah logika. Kau ingat?"
Matanya menyipit tanda berfikir,
"Dan sembilan per sepuluhku adalah logika ,lalu satu per sepuluhku adalah perasaan. Hmm..." ujarnya.
"Tidak ada yang keliru bukan? Semua sudah terancang dengan komposisi yang seimbang."
"Kau benar. Kalau begitu, berikanlah itu padaku jika suatu waktu aku sedang lengah."
Aku tersenyum lagi tanpa jawaban. "Tampan.."
**
Hingga Km ketujuh, anak-anak angin masih beriak dengan siulan khasnya. Geli yang kurasakan sampai menyentuh bagian daun telingaku. Sepanjang perjalanan, aku bersenandung pelan. Iramanya meloncat-loncat. Entah ia samakan suaraku dengan apa. Mungkin katak?
(sing)
"You do something to me.. That I can't explain .."
Tak lama setelah itu ,
"So would I be out of line, if I said.."
Kuangkat wajahku padanya. Aku mengerlingkan mata. Memberinya suatu kode agar bersama kami meneruskan kembali potongan lagu tersebut. Berdua.
"I miss you .."
**
Ilalang-ilalang pun ikut menari-nari sejak saat itu. Bulatan senja yang semakin dekat pada peraduannya buat langitku menjadi semakin hitam dan pekat. Saat itu pula aku melihat titik-titik cahaya kuning yang bertebaran dan terbang tanpa bebannya. Kunang-kunang mungil dengan fantasi akbar. Mereka lalu menari-nari menggantikan lincahnya ilalang-ilalang sore tadi. entah sampai berapa voltase daya yang mereka kerahkan untuk sinar total yang memesona itu. Yang kutahu, mereka datang untukku. Untuknya.
Masih terus ia berjalan dengan memangkuku. Sesekali tangannya merosot hilang kendali. Kemudian dengan usahanya ia mengangkatku kembali. Pun tanganku yang masih melingkar pada punggung lehernya. Dengan cahaya kunang-kunang yang serta merta mengiring, kami menjadi satu siluet yang sangat indah di sana. Meski gelap, tapi setidaknya hanya kami yang bersinar di sini. Di pandora kami. Candaku datar.
Sesaat kami terlarut dalam hening. Sesekali ia menunduk. Menghela beberapa hirupan nafas, lalu berucap, "I love you ,cantik. More than anything,"
Kurang lebih saat-saat seperti itulah yang bisa membuat waktu sejenak terhenti.
"so do I. Love you more than you know, tampan."
"See my princess," jawabnya lembut disambung seulas senyum.
Tiada yang lebih damai daripada menjadi bentukan siluet terindah pada suatu ruang malam yang ada. Sepanjang masa.
**
Perlahan langkah-langkah ini semakin menjauh. Aku merasakan desahan nafasnya yang kini memanas, detakan jantung di dadanya yang terdengar seperti genderang, dan tekukan-tekukan kakinya yang hampir tak tertahankan.
"Cantik, sebetulnya aku.."
"Kau kenapa?"
"Kau tahu? Hanya saja 53 kilogram untuk 11 kilometer ini buat segalaku sakit. Empat per lima tenagaku, sudah benar-benar habis kali ini,"katannya terengah-engah.
Perlahan akupun terlepas dari tubuhnya. Kembali aku di atas bebatuan abu yang berbongkah. Ia terdiam lemas, "Tuntun aku.." pintanya manja. Dan saat itulah kulihat sosoknya seperti seorang bocah lima tahun yang minta digiring ibunya. Aku terkekeh sebentar.
Dan untuk yang terakhir, kami berjalan bersama .Kini membentuk sketsa dua manusia yang terbenam dalam cerita di bawah atapnya sang malam.
*kuposting ini, kupublish, dan beranjak dari dudukanku. Bukan kemana, hanya akan pergi mencari cerita ini.
Wednesday, February 24
Imajiku (Fiktif)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment