Sunday, January 23

Ayah, Di Mataku

Putar balik. Otakku memutar memori ke sebelas tahun lalu.

"Ayah!"
Bocah itu berteriak sesampai di rumah. Ia masih berbungkus seragam telor asin. Ayah ada di kamar. Masih tidur.

"Ayah!"
Kali ini lirih. Bocah itu kemudian menangis tersedu.

"Ayah!"
Matanya berbinar sekarang. Ayah sudah bangun. Bocah itu kini aman .

"Ayah!"
Mereka berpelukan. Mata Ayah banyak berbicara.

"Ayah!"
Bocah itu menjulurkan telapak tangannya. Ia mau uang. Lalu pergi.

"Ayah!"
Bocah itu menggigil di depan gedung merah putih. Sendiri. Ayah menujunya.

Memoriku telah kembali.

Aku dan Ayah tidak seperti itu lagi. Aku seorang gadis 16 tahun sekarang. Ayah semakin kendur kulitnya. Pikirannya semakin sempit. Aku tidak pandai menafsirkan tingkah laku Ayah.
Hanya saja dimataku,
Ayah, bukan seorang bapak dengan seribu proteksi. Namun sekali aku celaka, ia panik tiada dua!
Ayah, Ayah itu bicaranya keras. Teman-teman lelakiku pasti takut dalam sekali bertemu. Aku jamin itu!
Ayah, orang yang rela mengeluarkan semua isi dompetnya ketika aku mau pergi.
Ayah, yang bisa membentak dan lembut padaku dalam waktu yang sama.
Ayah, pria yang.. nyaris sempurna.

Sebetulnya aku rindu. Sayangnya aku terlalu malu. Aku mau sedekat itu. Lagi.
Siapa pun lelakiku kelak, Ayah-lah yang jadi barometerku. Ayah tetap pria nomor satu.

"Ayah!"
Aku menangis.

No comments: